Menikah Sederhana Itu Hak

Usia pernikahan kami sudah memasuki tujuh bulan. Masih pendek sekali bahkan tak layak rasanya memberi nasihat kepada mereka yang hendak menikah.

Dari sekian banyak peristiwa yang sudah saya dan istri lalui, ada satu hal yang seolah belum tuntas. Kami merasa ada utang yang tak terbayar. Di bulan ketujuh berumah tangga ternyata masih ada rekan yang melontarkan pertanyaan, “Kok, gak ngundang-ngundang sih nikahannya?”

Sejauh ini sih hanya istri yang mendapatkan pertanyaan itu. Biasanya, ketika ditanya istri akan cerita ke saya. Kami berdua, khususnya saya, hanya bisa tersenyum mendengar kembali pertanyaan serupa.

Kami memilih 16 Februari 2018 sebagai hari pernikahan. Pilihan itu datang dari kami sendiri. Orang tua dan anggota keluarga lainnya tak ikut terlibat dalam penentuan hari, tanggal, atau bulan.

Tempatnya di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kalau lokasi 100 persen keputusan dan keinginan istri. Sang Ayah, mertua saya yang asli Yogyakarta, juga tak terlibat dalam menentukan lokasi.

Begitu juga dengan konsep acara. Kami memutuskan tak ada resepsi. Istri secara khusus ingin mengundang anak yatim-piatu. Sisanya, diisi oleh keluarga dekat, teman kerja, dan sahabat. Total kami mengundang 130 tamu, sudah termasuk panitia acara yang merupakan teman-teman kami. Tentunya saat hari puncak jumlah tamu yang datang lebih dari 130 orang.

Soal biaya, rasanya tak elok kalau saya harus ceritakan. Dari penjelasan di atas rasanya tidak suli menghitung berapa biaya yang kami habiskan.

Sebelum masuk ke inti cerita, saya ingin berbagi info dari seorang analis Mirae Asset Sekuritas yang mengunjungi sebuah festival pernikahan di Kemayoran beberapa waktu lalu.

Dari hasil penelusurannya, ia mengatakan, rata-rata biaya yang perlu disiapkan untuk menggelar resepsi pernikahan di Jakarta berkisar Rp 35 juta hingga Rp 750 juta dengan jumlah tamu undangan sebanyak 350-1.000 orang. Bila ada rencana bulan madu, tentu biaya yang harus disiapkan bertambah lagi.

Angka menarik lainnya ialah pertumbuhan pernikahan di Jakarta. Pada 2016 angka pertumbuhan pernikahan naik 2,5 persen menjadi 57.368. Memasuki 2017 kenaikannya sebesar 2,9 persen menjadi 59.032. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, jumlah pernikahan di Jakarta setiap tahunnya mencapai rata-rata 1.664.

Secara sederhana saya hanya ingin mengatakan begitu gurihnya bisnis pernikahan, khususnya di Jakarta. Di akhir tulisan nanti saya akan lampirkan biaya setiap kebutuhan dalam resepsi pernikahan untuk standar di Jakarta.

Jadi, yang ingin saya sampaikan ialah kami bersyukur memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana pernikahan seharusnya berjalan. Kami pun bersyukur keinginan itu mendapat dukungan penuh dari orang tua. Bisa dibilang 65 persen pernikahan diurus oleh kami berdua saja. Sementara dari sisi biaya nyaris 90 persen datang dari kantong kami. Sisanya merupakan bantuan dan pemberian dari keluarga dan sahabat.

Meski demikian ada konsekuensi yang mesti kami tanggung juga. Yaitu saat kami tidak bisa mengundang rekan-rekan yang lain. Pertanyaan, “Kok gak undang-undang?” bergulir tak henti selama beberapa pekan setelah kami menikah. Bahkan, ya itu tadi, tujuh bulan usai akad nikah pun seorang teman masih mempertanyakannya. Saya sampaikan ke istri wajar bila ada yang bertanya karena biar bagaimana pun selalu ada keterbatasan.

Bagi saya pribadi resepsi itu pilihan. Menikah dengan cara sederhana itu hak. Ini bukan soal kebiasaan, tuntutan, apalagi gengsi-gengsian.

Setelah melewati fase itu, saya hanya ingin berbagi jangan sampai waktu kita habis karena lebih lama mempersiapkan resepsi dibandingkan dengan mempersiapkan ilmu memasuki rumah tangga. Jangan sampai juga gaji bahkan uang pensiun orang tua habis hanya untuk pesta sehari saja apalagi sampai berutang sana sini.

Padahal, resepsi hanya berlangsung tak lebih dari tiga jam bila di gedung dan delapan jam bila di rumah. Sisanya, ya itu tadi, seumur hidup kita harus membangun rumah tangga. Kehidupan dalam berumah tangga itu jauh lebih pelik dari pada menentukan souvenir mana yang menarik buat dibawa pulang tamu. Jadi penting sekali untuk tahu betul bekal apa yang mesti disiapkan ke depannya, bukan sibuk dengan persiapan nikah.

Tak perlu malu dengan sajian makanan yang sederhana. Tak perlu gusar dengan pilihan pakaian yang dikenakan. Karena sebelum datang ke pesta, tamu lebih peduli dengan pilihan pakaian yang akan dikenakan. Dan saat di tengah pesta pun orang lebih sibuk berfoto ria dan bercengkerama dibandingkan menilai pesta tuan rumah.

Percaya lah puluhan kali saya datang ke resepsi tak pernah saya temui orang komplain karena tidak mendapatkan makanan. Memang sih pernikahan itu momen terpenting dalam hidup kita, jadi ya wajar bila perlu dipersiapkan segala sesuatu. Ingat, kita sedang ibadah bukan menyediakan pesta untuk orang lain. Jangan sampai menikah menjadi tertunda hanya karena anggaran belum mencukupi. Jelas, menurut saya, itu tidak layak dilakukan.

Pada akhirnya keputusan ada pada masing-masing pasangan. Selama mampu dan sanggup silakan saja lakukan. Nah, sebagai gambaran berapa besar biaya pesta pernikahan di Jakarta, berikut ini saya lampirkan hasil penelusuran dari Mirae Asset Sekuritas.

Tempat US$ 583- US$ 1.896
Makanan per orang US$ 5,5 – US$ 12,8
Rias pengantin US$ 364-US$ 1.094
Baju pengantin US$ 547 – US$ 1.832
Kue pernikahan US$ 218 – US$ 576
Perencana pernikahan US$ 729 – US$ 4.376
Undangan US$ 145 – US$ 459
Mas kawin US$ 364- US$ 6.127
Dokumentasi US$ 1.094 – US$ 2.188
Dekorasi US$ 1.458 – US$ 7.294
Foto pra nikah US$ 583 – US$ 2.188
Bulan madu US$ 488 – US$ 1.604

Jakarta, 5 Agustus 2018

Jenderal

pinterest blackbird

pinterest.com 

“Jadi dari mana Anda mendapatkan senjata itu?” tanya sang Jenderal.

“Sudah saya jelaskan berkali-kali. Saya tidak tahu dan tidak pernah punya senjata. Bapak ini orang kelima yang melontarkan pertanyaan serupa,” jawabku.

“Jangan berkelit Anda?” ucapnya, kali ini dengan nada yang agak tinggi.

“Buat apa saya berbohong. Tapi baiklah, jika bapak masih bersikeras menanyakan hal yang sama saya juga akan katakan hal yang serupa. Senjata yang bapak maksud itu tiba-tiba saja ada di bawah kasur saya. Saya tidak tahu bagaimana benda itu bisa ada di sana.”

“Bagaimana bisa ada senjata di kamar sendiri dan Anda tidak tahu dari mana asalnya?” tanyanya lagi.

Aku tak mau terpancing. “Persis. Itu pertanyaan yang ada dibenak saya kali pertama menemukannya, Pak.”

“Loh, gimana sih Anda ini?” kata sang jenderal sambil berupaya menjaga nada bicaranya.

“Faktanya, begitu memegang senjata itu, tiba-tiba saja lima orang berpakaian serba hitam yang perawakannya mirip seperti Bapak merangsek ke kediaman saya. Mereka membawa saya ke kantor sebelum akhirnya saya ada di gubuk ini. Seharusnya saya yang lebih banyak bertanya, bukan bapak.”

“Jangan ngatur-ngatur saya. Saya pimpinan di sini. Ingat anak muda, informasi yang kami dapat sangat akurat dan tidak mungkin meleset. Jadi sekali lagi saya bertanya, dari mana Anda mendapatkan senjata itu?”

Dasar otak batu, pikir ku. “Bagaimana saya menjawab sesuatu yang saya tidak tahu. Sementara bapak sepertinya yang lebih banyak tahu.”

“Baiklah anak muda. Mungkin segelas kopi akan mengembalikan ingatanmu.”

 

Sepanjang aku bisa mengingat hanya ada satu keputusan paling penting yang tanpa kusadari telah memengaruhi seluruh hidupku. Hari ketika ibu membelikan seragam pramuka menjadi titik awal aku mengenal siapa dan apa minatku. Aku yang bermata sipit, bungsu dari empat bersaudara yang kerap diremehkan dan disisihkan dalam urusan apapun di keluarga, mulai berani bersikap ketika terjun ke pramuka. Lucu memang kalau dipikir-pikir lagi.

Seragam berwarna coklat, baret dengan dasi merah-putih terlilit di leher menambah rasa percaya diriku. Pramuka, menurut ku, jalan tengah antara kedisiplinan khas militer dan kesenangan bermain-main di alam terbuka. Aku yang ketika berada di dalam kelas memilih diam dan duduk di kursi paling belakang seketika berubah saat di bawah matahari.

 

Aku menyukai alam terbuka dan segala tantangan serta atraksi lapangan selama mengikuti kepramukaan. Panggilan kakak untuk guru atau pelatih semakin membuatku menaruh hormat pada kegiatan ini. Sebab tidak ada jenjang senioritas ala militer. Aku tidak takut berbuat salah karena ada seorang kakak yang akan membimbing bukan menghakimi benar atau salah.

Hingga pada akhirnya, ketika berseragam sekolah menengah pertama, kawan-kawan memberi kepercayaan kepadaku untuk memimpin di tingkat pramuka penggalang. Menjadi pemimpin upacara setiap senin dengan santai aku lakoni bila ada petugas utama yang absen. Ragam kegiatan lapangan yang menuntut kedisplinan dan kerja sama rupanya lambat laun membangun karakter kepemimpinanku. Keras. Enggan mengalah. Tak mudah terprovokasi.

Jadi ketika diinterogasi seorang jenderal bintang satu yang terlihat belum pernah terjun ke medan perang aku merasa biasa saja. Dengan santai aku ladeni pertanyaan yang itu-itu saja. Aku bukan tipe orang yang bisa digertak atau ditakuti. Apalagi aku tidak mempunyai tanggungan apa pun. Dan sepertinya jenderal muda itu tahu.

Sudah lebih dari tiga hari aku ditahan tanpa kejelasan. Aku tidak tahu persis sedang berada di mana. Tapi kalau ku taksir berkendara dengan kecepatan normal selama delapan jam, setidaknya aku sedang berada di Bukit Anabis kalau bergerak ke timur. Tidak mungkin aku di bawa ke selatan, barat, atau utara karena posisi terakhir ku ada di ujung pulau. Dengan hawa udara yang sejuk perkiraan ku tidak akan terlalu meleset. Para bedebah sialan ini sepertinya tidak mau ambil resiko. Mereka sepertinya menganggap aku pantas disamakan dengan kaum pemberontak.

Aku terus mencoba memeras ingatan dari mana senjata sialan itu bisa ada di kamarku. Dengan kondisi yang masih bugar dan tanpa menerima kekerasan fisik aku masih bisa berpikir jernih. Tetap aku tak menemukan jawaban. Dengan berat hati aku harus berpikir ulang tentang orang-orang yang pernah singgah ke tempatku. Hanya ada dua orang saja. Darma dan Abri. Hanya mereka berdua yang pernah berkunjung ke kamarku. Iya, hanya Darma dan Abri saja, tak ada yang lain.

Tiba-tiba kepala ku pening. Sakit luar biasa begitu mengingat dua nama itu. Aku tidak bisa menerima kalau salah satu dari mereka ternyata yang menyimpan senjata di bawah kasur dan penyebab semua ini. Hubungan ku dengan Darma dan Abri tak dibangun dalam sehari. Kami bukan sekedar kawan, tapi sudah seperti saudara.

Darma bagiku sudah seperti adik. Suatu ketika aku pernah memaksakan kehendakku kepada Darma. Ke hendak yang berdampak mengubah jalan hidupnya. Aku dengan gigih mendesak Darma agar tak melepaskan kekasihnya yang posesif dan cemburuan. Dua sifat itu yang kerap membuat susah Darma. Ku bilang, biasanya perempuan dengan dua sifat itu amat setia. Sulit mendapatkan perempuan seperti itu. Sampai jelang hari pernikahan mereka, Darma memberi kepercayaan kepadaku untuk jadi saksi pernikahan mereka. “Biar kamu ikut bertanggung jawab kalau ada masalah dengan rumah tangga kami,” begitu alasan Darma. Aneh betul kataku.

Aku dan Darma sama-sama pernah merasakan bagaimana kehilangan kedua orang tua. Bertahun-tahun kami selalu berbagi kesepian yang kerap mengintimidasi. Tapi sejak kedatangan perempuan itu rasanya sudah tak ada yang menekan Darma lagi di saat malam menggeser siang.

Pekan lalu seingatku Darma berkunjung ke kamarku. Intensitas pertemun kami menurun seiring semakin besarnya isi rahim istri Darma. Aku tak mempersoalkan itu tapi rupanya Darma tak senang melihat ku bekerja sendirian. Aku bilang tak perlu risau karena ada tanggung jawab lain sebagai calon ayah. Suatu hari aku pun bakal menghadapi persoalan yang sama.

Malam itu tak ada soal kerjaan yang kami bicarakan. Kami hanya tertawa sambil diiringi bergelas-gelas kopi, rokok, dan kacang rebus. Semalam suntuk aku dan Darma bicara ngalor ngidul tak ada ujung. Membongkar segala cela dan kebodohan semasa kuliah. Mengutuk nafsu pembesar-pembesar kota yang tak pernah puas merebut tanah-tanah milik warga dan petani. Aku tidak tahu kalau itu jadi malam terakhir bertemu dengan Darma. Tidak ada yang tahu juga sih kalau aku dibawa oleh segerombolan setan licik ini.

Ah, aku jadi ingat sekarang. Samar-samar Darma pernah mengingatkan ku soal Abri. Iya, aku ingat betul. Suatu hari Darma pernah memergoki Abri bertemu dengan lawan kami di pengadilan di suatu kafe. Walau dia mengaku hanya sekedar bertemu dengan kawan lama saat di kampus, tetapi Darma terus menaruh curiga sejak pertemuan itu. Aku sebenarnya tak mau ambil pusing dengan omongan Darma saat itu. Tapi rupanya di saat maut terasa terlihat jelas malam ini, informasi Darma membuat ku sedikit puas dan tenang.

Dua hari setelah kedatangan Darma, Abri menginap di kamarku. Semalam suntuk kami menyusun strategi dan mencari cara agar bukti yang dikumpulkan bisa diterima hakim. Aku dan Abri cukup yakin kalau kali ini warga pasti menang. Setelah dua kekalahan sebelumnya, kami percaya bukti baru yang disiapkan bisa membuat hakim mengabulkan tuntutan warga.

Tak ada percakapan pribadi ketika Abri singgah ke kamarku. Hubungan ku dengan dia tak bisa dibilang sekedar urusan pekerjaan saja. Aku baru mengenal Abri tiga tahun ke belakang. Kami terpaksa melibatkan orang lain karena studi Arif tak bisa ditunda. Jadilah Abri menggantikan Arif yang sudah sejak awal mengikuti perkara-perkara kami. Sejauh pengamatan ku, Abri bekerja profesional dan amat serius. Selalu ada jeda panjang saat membangun percakapan dengan Abri. Ia begitu memperhatikan penampilan. Meski tak mengenakan pakaian bermerek, tapi Abri tahu bagaimana caranya bergaya di depan orang lain.

Ada jarak yang agak besar antara aku dengan Abri. Dia selalu sembunyi ketika sudah bicara urusan pribadi. Sementara aku sebaliknya. Aku tak ragu menceritakan masalah. Ya, walau tidak semua masalah juga patut diumbar. Abri yang ku tahu adalah seorang yang bisa menjaga rahasia.

Kalau pun benar Abri yang menjebakku, apa yang sedang dia incar. Aku tak berhasil menemukan jawabannya. Pikiranku menerawang, terus berupaya memanggil ingatan atau mencari-cari peristiwa apa yang membuat ku jadi pesakitan seperti sekarang. Buntu. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana bisa senjata sialan itu bisa ada di bawah kasurku.

 

Dua jam berlalu, menurut perkiraanku. Tak setetes pun kopi hitam yang disediakan aku sesap. Dari dalam gubuk seluas 20 meter persegi yang nyaris roboh ku dengar samar-samar suara orang bicara. Setidaknya ada enam orang di luar sana.

“Gimana?” kata seseorang.

“Udah, sekolahkan (tembak) sajalah,” sebut seorang lagi. “Tanggung. Udah terlalu jauh,” ucapnya.

Satu jam terakhir pikiran ku menerawang dengan cara apa mereka akan mencabut nyawa ku. Berada di tengah hutan di sekitar kawasan Bukit Anabis, kalau prediksi ku tak meleset, tak akan ada orang yang tahu keberadaanku. Jadi suara tembakan, bahkan meriam sekali pun tidak akan menarik perhatian orang. Paling-paling hanya tikus hutan yang lari kocar kacir. Tapi setidaknya kalau pun aku mati hari ini, aku bakal menemani setidaknya ratusan orang yang dibantai 10 tahun lalu. Ya, setidaknya arwah ku tak sendirian di hutan ini.

Suara gesekan pintu dengan tanah memecah kesunyian. Sang Jenderal kembali duduk di hadapanku dan kembali melontarkan pertanyaan yang sama.

“Bagaimana, sudah ingat sekarang?” tanyanya.

“Terserah apa yang mau Anda lakukan jenderal. Tapi kalau pun saya mati malam ini, Anda hanya mendengar jawaban yang sama.

“Wah, wah, sudah siap mati sepertinya,” ucap sang jenderal, kali ini nada bicaranya terasa puas. “Baiklah kalau begitu, ada pesan terakhir, anak muda?

“Jangan salah paham jenderal. Justru mestinya saya yang bertanya soal itu. Adakah pesan dari Anda Jenderal? Pesan untuk senior-senior Anda yang mati dimakan usia tanpa pernah merasakan panasnya peluru senjata,” kataku.

“Baiklah, kita percepat saja proses ini. Saya masih banyak urusan, anak muda,” seru sang Jenderal. “Prajurit, bawa satu lagi anak muda yang di luar.”

Jantung ku terlonjak. Seluruh badanku terasa panas, seperti terbakar. Mataku hanya bisa menatap kosong saat seorang prajurit berambut panjang menyeret Darma.

“Nah, anak muda. Permainannya sederhana saja. Hanya ada satu peluru di senjata ini. Kita akan lihat di kepala siapa peluru ini akan bersarang lebih dulu,” ucap sang Jenderal.

“Bajingan kau Jenderal,” teriakku.

 

Palmerah, 20 Oktober 2017

Klise

Nobody panics when things go “according to plan” even if the plan is horrifying. If tomorrow I tell the press that, like a gangbanger will get shot or a truckload of soldiers will be blowing up nobody panics. Because it’s all part of the plan. But when I say that one little old mayor will die, well, then, everyone loses their minds. (Joker, The Dark Knight)

joker batman

Batman and Joker, The Dark Knight. Pict: etsy

 

Situasi mengalir aneh di September. Negeri ini seperti tengah mengalami ujian tersulit yang nyaris berulang. Publik, bisa anda salah satunya, hanya bisa menutup wajah dengan telapak tangan dan berharap ujian kali ini bisa berjalan dengan lancar.

Ujian pembuka diawali dari ajakan seorang jenderal menonton film Pengkhianatan G30S/PKI. Dalam pandangannya generasi muda saat ini harus tahu betapa berbahayanya paham komunisme yang pernah berada di puncak era revolusi. Tak boleh ada orang yang lupa. Generasi milenial, dari Y sampai Z mesti tahu kalau dulu ada jenderal yang dibantai oleh partai politik. Warisan terbesar Orde Baru, yaitu film G30S harus dirawat. Nyatanya, kini warisan itu jadi senjata efektif untuk memberikan kesan pertama ihwal bagaimana kita seharusnya memandang dan memperlakukan komunisme. Publik pun terbelah.

Jeda. I’m learning to walk again. I believe I’ve waited long enough. Where do I begin? (Walk, Foo Fighter)

Di lembar berikutnya ada rasuah. Panggung drama Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memasuki masa akhir kerjanya yang berdurasi 60 hari. Kelahiran Pansus dituding berasal dari hubungan gelap dan penuh intrik. Terkesan dipaksakan dan akan dijadikan alat melemahkan KPK. Dalam hal ini, publik nampaknya mempunyai jawaban yang sama.
Masih di lembaran soal yang sama. Tersangka korupsi KTP elektronik yang merupakan ketua parlemen mencoba menipu peserta ujian dengan mengaku sakit. Bila publik jernih melihat, pengakuan sakit sebenarnya tidak keluar dari mulut dokter. Orang-orang terdekat tersangkalah yang membentuk opini. Sebuah foto pria yang sedang berbaring dan nampak kepayahan bernafas mencoba memperkuat. Tapi tak ada yang percaya dengan itu semua.

Lantas jelang akhir pekan, sidang prapreadilan yang dilakoni sang ketua parlemen pun mencapai kesimpulan. Status tersangkanya dibatalkan oleh hakim. Ah, lagi-lagi publik tidak terkejut. Seolah semua orang sudah tahu bagaimana skenario akan berjalan, jadi tidak perlu panik. Seperti kata Joker, situasinya berjalan sesuai rencana meski mengerikan sekalipun. Kita cukup berkicau di media sosial dan membuat tagar satire.

Jeda. Where the streets have no name. We’re still building and burning down love. And when I go there. I go there with you (Where the streets have no name-U2)

Dari atas balkon setinggi empat meter. Di salah satu gedung markas besar tentara nasional. Seorang jenderal kembali mengingatkan betapa bahayanya komunisme. Namun setelah hari itu bukan soal ketakutan kebangkitan hantu Komunis yang menjadi ujian publik. Dari media sosial sang jenderal bersuara akan ada pembelian 5.000 senjata ilegal di luar institusi militer. Entah apa yang ada dibenaknya. Satu hal yang pasti, negara jadi gaduh.

Teringat dialog Joker dengan Harvey Dent di Batman The Dark Knight, publik tidak akan panik jika seseorang memberitahu sedang/berencana membuat teror. Tak peduli bila teror itu bakal memakan banyak korban. Saya pun tidak merasa panik atau kaget ketika sang jenderal membuka informasi intelijen meski (mungkin) ditambah bumbu sana-sini. Namun publik yang mendengarkan rekaman tanpa mengetahui konteks terlihat berimajinasi terlalu jauh. Di era keterbukaan informasi, imajinasi dan media sosial merupakan dua elemen yang efektif menciptakan keresahan.

Jeda. If everything could ever feel this real forever. If anything could ever be this good again. (Everlong, Foo Fighter)

Bunuh Diri dan Idola

 

led zeppelin stairway                                                (Led Zeppelin, Stairway to Heaven)

 

Sebuah ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi membuat manusia menjadi satu-satunya binatang yang bisa bunuh diri. (Alain de Botton)

20 Juli

Cahaya mentari mulai melemah di kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Setan-setan kecil pun bersiap mengadu nasib. Mencari teman yang bisa diajak melewati malam sunyi. Awan mendung nampak gelisah dan ragu apakah akan menumpahkan hujan atau menunggu hingga benar-benar matang.

Di depan layar komputer aku memilih menikmati lagu dari Led Zeppelin, band beraliran rock asal Inggris. Belakangan ini aku sedang keranjingan mendengarkan Led Zeppelin dari kanal YouTube. Di sadari atau tidak selera musik ku lebih condong ke era-era lampau. Masa 1960-1990-an merupakan musim semi terindah bagi penikmat musik rock.

Di tengah mendengarkan Black Dog, ku buka halaman baru di mesin pencari Google. Aku penasaran mencari tahu penyebab band sehebat Led Zeppelin bubar. Ternyata karena seorang John Bonham. Bonham merupakan drummer Led Zeppelin. Personil lainnya, Jimmy Page (gitaris), Robert Plant (vocal), John Paul Jones (bass, keyboard) sepakat mengubur Led Zeppelin bersama Bonham di tahun 1980.

Dari beragam pemberitaan, Bonham meninggal karena tersedak minuman keras saat tertidur di atas sofa. Sebelum menutup usia, sosok yang akrab disapa Bonzo itu seharian penuh menyibukkan diri dengan menenggak berliter-liter vodka. Ia tewas di usai 32 tahun pada akhir September 1980 di Windsor Berkshire, kediaman Page. Sulit untuk berspekulasi bila tindakan yang dilakukan Bonham adalah upaya untuk mencabut nyawanya sendiri.

Namun langkah membubarkan sebuah band usai ditinggal salah satu personilnya tidak hanya dilakukan oleh Led Zeppelin. Sekedar menyebut nama ada The Doors dan Nirvana yang memilih berhenti berkarya daripada mencari pengganti anggota band yang meninggal. Sementara ada banyak band yang justru berusaha menyesuaikan diri bertahan kendati salah satu anggotanya pergi.

Kematian yang tak wajar, seperti dalam bentuk bunuh diri, seolah lumrah terjadi dalam dunia hiburan. Upaya mencabut nyawa sendiri merupakan simbol sekaligus pesan kepada khalayak ihwal situasi subjek yang disebut De Botton ketidakmampuan mengekspresikan diri. Kita tidak tahu dengan pasti apa yang ingin disampaikan oleh mereka yang memilih menghabisi nyawanya sendiri.

Para penggemar hanya bisa menerka-nerka mulai dari depresi, kesepian, bosan dengan ketenaran atau masalah yang tak kunjung tuntas. Apapun itu asal bisa menjawab sifat dasar manusia, yaitu rasa ingin tahu, tak peduli apakah itu rasional atau tidak.

21 Juli

Vokalis band Linkin Park, Chester Bennington meninggal dunia. Media memberitakan kematian Bennington akibat bunuh diri. Ia pun resmi masuk daftar artis-artis yang meninggal karena bunuh diri. Bahkan hari di mana ia meregang nyawa bertepatan dengan hari lahir Chris Cornell, sahabatnya yang merupakan vokalis Soundgarden dan Audioslave.

Sehari penuh topik pembicaraan di sekeliling ku seputar Linkin Park dan Bennington. Lagu-lagu populer band asal California itu diputar di radio, Youtube. Beritanya berhamburan di media online. Tak lupa, artikel-artikel seputar bunuh diri naik lagi ke permukaan. Untuk sesaat aku berpikir orang-orang sedang melihat dirinya sendiri. Apa dunia begitu sempit ?

We came from the land of the ice and snow. From the midnight sun where the hot springs flow. Hammer of the gods will drive our ships to new land. To fight the hordes and sing,and cry. Valhalla, I am coming
(Immigrant Song, Led Zeppelin)

 

 

 

Spider-Man: Homecoming dan Rasa Yang Pernah Ada

IMG_20170713_083120

“Peter Parker. Brilliant but lazy,” Doctor Octavius

Lima belas tahun, enam film, tiga pemeran, dan tiga sutradara. Rasanya belum ada film superhero yang datang dan pergi secepat Spider-Man. Di luar apapun itu, dari mulai siapa aktor yang paling pas memainkan Peter Parker sampai bagaimana peran dia nanti di The Avengers berikutnya, kehadiran Spider-Man:Homecoming layak diapresiasi.

Harapan para penggemar yang ingin melihat jagoan dari Queens, New York, itu bertemu dengan tokoh Marvel lainnya setidaknya terpenuhi. Ya, namanya juga reuni masa enggak ketemuan sama teman lama.

Lucu memang, saking penasaran sama Spider-Man versi Jon Watts, saya sampai dua kali datang ke bioskop. Baru kali ini seumur hidup nonton film dua kali di bioskop. Kesan pertama yang didapat: Segar. Pedro, eh Peter (Tom Holland) bisa berdiri sendiri dari sosok Parker (Tobey Maguire) yang sukses bikin saya berkaca-kaca di sekuel kedua Spider-Man versi Sam Raimi.

Saya bukan penggemar berat tokoh-tokoh superhero Amerika Serikat, baik dari kutub Marvel atau pun DC. Masa kecil saya enggak diwarnai oleh komik-komik Spider-Man, Batman, atau Superman. Tapi siapa sih yang tidak kenal mereka. Sejak kehadiran trilogi Spider-Man, ironisnya justru Sony yang memulai, saya jadi penonton setia film-film superhero Marvel dan DC. Bisa dibilang secara historis saya tidak punya bekal cukup untuk membandingkan penampilan para superhero itu antara versi layar lebar dengan komik.

Seperti kebiasaan menonton film superhero, selain soal alur cerita, saya kerap tertarik dengan skenario (naskah) yang dibangun antartokoh dan tokoh antagonis.

Dari sisi naskah, sepertinya ada rasa kurang percaya diri di film ini. Lihat saja ada lima orang penulis naskah yang terlibat. Sulit melihat warna asli dari Spider-Man kali ini. Tak aneh kalau saya tidak menemukan kata-kata yang berkesan. Sulit bagi penonton untuk mencari kutipan mana yang menarik buat dipajang di timeline media sosial. Mungkin ini resiko dari film yang sengaja dibuat agar ada keterkaitan dengan film lainnya.

Berikutnya soal tokoh penjahat. Kehadiran Michael Keaton sebagai Adrian Toomes alias The Vulture amat baik karena tidak terlihat komikal. Sebagai aktor senior, Keaton begitu detail dan pas dalam pembawaannya. Dalam hati ia tidak punya niat jahat, tapi situasi yang memaksanya. Di situ Keaton begitu apik meraciknya.

Lantas bagaimana dengan aksinya? Well, ini yang saya sebut segar. Adegan perkelahian, kejar-kejaran dengan ditambah kelucuan di sana sini sudah menjadi ciri khas Spider-Man yang sulit dilepas. Di sini, saya masih bisa menemukan gen utama Peter sebagai superhero yang manusiawi. Masih takut ketinggian. Lugu dan bersahabat. Kikuk di depan perempuan. Namun ketika memasuki adegan puncak, kok saya merasa itu mirip dengan adegan Spider-Man melawan Doctor Octavius. Ya, beginilah resiko menggarap film yang sama dengan jeda waktu yang tidak terlalu jauh. Upss..

Terakhir, Jon Watts disadari atau tidak nampaknya tak mau melepaskan image Peter Parker yang selalu ketinggalan pelajaran karena lebih sibuk mengejar penjahat dibanding menuntaskan tugas sekolah. Saya pun jadi ingat kembali ucapan yang dilontarkan Doctor Octavius kepada Peter saat kedoknya terbongkar di Film Spider-Man 2. Ia mengatakan, “Peter Parker. Brilliant but lazy.”

Palmerah, 17 Juli 2017

Di Bawah Bayang-Bayang Gie dan Wahib

 

rumi

sunniphilosophy

Bagi saya tidak ada sesuatu yang baru dari tulisan Afi Nihaya Faradisa yang berjudul Warisan. Di mata saya, untuk remaja yang tengah beranjak menuju dewasa, Afi adalah seorang peracik kata-kata yang mengesankan. Gaya menulisnya segar dan tegas. Jujur serta berani.

Afi belakangan ini semakin menjadi sorotan. Bagi orang-orang yang sulit menerima kekalahan jagoannya di Pilkada tulisan Afi ini serasa jadi obat penawar. Ya, mungkin karena baru kali pertama terlibat di hiruk pikuk politik tanpa dibekali bahan bacaan yang cukup, mereka merasa dengan menyebarkan tulisan Afi bisa mengaku sebagai bagian dari barisan pengusung toleransi dan kebinekaan.

Padahal si empunya tulisan sendiri dengan tegas menyatakan kalau tulisannya tak ada kaitan dengan Pilkada atau peristiwa politik mana pun.

Saya sendiri tak punya motif apa apa dengan mengomentari atau membawa-bawa nama Afi di tulisan ini. Di sisi lain, saya bukan elit dan enggan berdebat atau ikut-ikutan klaim apapun seputaran Pilkada. Saya cuma miris melihat mereka yang gagal move on ketika melihat jagoannya keok. Sudah hadapi saja kekalahan itu. Namanya juga hidup.

Kembali ke Afi. Ketika saya membaca tulisan lain milik Afi, ingatan saya melompat ke sosok Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Saya tidak terlalu yakin nama Ahmad Wahid dikenal banyak kalangan sebaik sosok Gie.

Sebagai ilustrasi, saya menilai Gie merupakan seorang yang humanis dari buku catatan hariannya yang berjudul, Catatan Seorang Demonstran. Buku terbitan LP3ES itu saya temukan tak sengaja di Palasari, Bandung, tempat jualan buku sekitar satu dekade lalu.

Sedangkan Wahib, saya punya kesan kalau beliau ini anak muda yang gelisah. Di klaim sebagai seorang aktivis, saya hingga kini belum kesampaian membaca tulisan Wahib. Sekilas namanya disebut dalam kata pengantar di buku Catatan Seorang Demonstran, Gie.

Sebagai ilustrasi, jika Gie seorang yang sedang berjalan di bahu kiri jalan maka Wahib ada di seberangnya, ruas sebelah kanan. Tulisan-tulisan Wahib kental dengan keislaman. Saya agak terkejut ketika nama Ahmad Wahib tertulis di pintu masuk musolah kantor saya.

Karena penasaran saya pun mencari tahu tulisan Wahib. Tak banyak yang saya temukan. Tapi aroma yang tercium sosok dia agak mirip dengan Gie.

Baik Gie dan Wahib, dalam kaca mata saya, keduanya merupakan pemberontak. Sama-sama punya mental melawan. Keduanya punya gagasan segar tentang bagaimana mengusik mereka yang berpikiran mapan karena sudah terbiasa menjalani rutinitas dan melihat dunia dari kaca mata yang sama. Mereka gemar medefinisi ulang pemahaman yang sudah mapan berpuluh-puluh tahun.

Dan ada dua kesamaan yang nyata dari Gie dan Wahib. Pertama mereka dengan tekun menuliskan kegelisahannya. Sesuatu yang menurut saya tidak lumrah dilakukan oleh aktivis di masa mereka. Kedua, umur mereka tidak panjang. Hanya itu yang saya tahu dari Gie dan Wahib.

Malam kemarin, Ahad, 28 Mei 2017, tak sengaja saya melihat tayangan singkat tentang Afi. Saat lensa kamera menyorot sebuah rak buku ada dua buku yang saya kenali.

Pertama buku Virus Akal Budi karya Richard Brodie yang keluar 2005. Dari Brodie saya mengenal istilah meme kali pertama. Dari Brodie juga saya diajak berpikir skeptis. Dan kini, meme (dibaca mim) begitu populer di media sosial sebagai sarana mengirim pesan.

Buku kedua, berjudul Fihi ma Fihi. Salah satu karya pemikir Jalaluddin Rumi – Saya lebih suka menyebut Rumi sebagai pemikir dibanding seorang sufi- Sampai sekarang saya masih ingat alasan membaca buku itu. Saya muak dengan kemunafikan.

Palmerah

 

Pagi

Minggu pagi. Kegelisahan mengusik waktu istirahatku. Perlahan mentari menyala dan mengusir setan-setan yang pulang kesiangan. Kupaksa melangkahkan kaki ke arah kamar mandi. Tanpa interupsi, gemericik suara air seni memecah keheningan pagi. Ah, nikmatnya.

Segelas kopi panas biasanya ampuh meredam rasa gelisah yang akhir-akhir rutin datang di pagi hari. Rasa pahit di lidah sanggup menarik sisa-sisa ruh yang tertinggal di kasur. Tak ada lagu di hari Minggu. Ini hari di mana aku enggan mendengar rintihan dari radio atau kotak musik. Di sisi lain, aku tak mau memotong mimpi-mimpi yang sedang berjalan dari kamar sebelahku.

Hanya di hari Minggu alarm tidak berbunyi. Tapi kali aku terpaksa melanggarnya. Di saat seperti ini biasanya aku memikirkan masa-masa sekolah. Tak peduli hari libur, bapak selalu menyetel alarm. Suaranya serupa sirine kebakaran. Tegas, tak peduli, dan penuh ancaman. Alarm yang selalu membuat aku tepat waktu datang ke sekolah.

Kali ini beda. Aku tinggal sendiri di sebuah sarang berukuran 2×2 meter. Alarm ku pun berubah bentuk menjadi rentetan penugasan kantor. Kadang aku lebih merindukan bunyi alarm dari bapak. Meski mengintimidasi tapi tak pernah berlangsung lama. Aku mudah melupakannya.

Aku memilih berbaring lagi di atas kasur. Mencoba mengingat kembali peristiwa yang terjadi semalam. Ternyata dia tidak suka dengan Fyodor Dostoyevsky. Sambil berbisik dia berucap, “Kamu terlalu muram.”

Ingin

Dulu, waktu kali pertama bisa membaca, aku ingin menjadi pekerja kantoran. Mengenakan kameja lengan panjang dan celana satin hitam sungguh berwibawa. Aroma parfum bermerek jadi jejak yang ku tinggalkan.

Mimpi bekerja kantoran pudar begitu aku mencicipi sekolah menengah. Kala itu di layar televisi aku melihat sekelompok mahasiswa berteriak-teriak di hadapan sekompi aparat. Tak gentar nyali mereka berhadapan dengan tentara yang menggendong senjata api. Gagah rasanya menjadi seorang aktivis pejuang.

Ujian sekolah menengah atas, pekerjaan rumah, dan bisikan bapak mengikis cita-cita ku yang ingin menjadi seorang aktivis. Bapak bilang aku lebih cocok menjadi juru masak. Aku masih ingat sebelum bapak membuaiku dengan tingginya gaji seorang koki di hotel, selembar kertas hasil pencarian bakat menuliskan takdirku menjadi tukang kayu.

Rupanya Tuhan punya rencana lain. Jika boleh sekali lagi aku meminta. Cita-citaku satu saja. Mati dipelukanmu.
Palmerah, 31 Juli 2016.

Hal-Hal Yang Terlewat Selama Ramadan

Banyak hal yang ingin ditulis sepanjang Ramadan kemarin. Mulai dari persiapan Ramadan yang enggak matang, ulang tahun Ibu Rifna (Bu kost tercinta), Piala Eropa yang sedikit mengejutkan lewat penampilan Islandia, sampai kerja di hari raya Idul Fitri.

Menunda menulis rasanya sudah seperti menunda pekerjaan. Setiap hari saya menulis, setidaknya 5.000-6.000 karakter. Rasanya lelah bila harus kembali menulis dan mengisi blog. Walhasil, belakangan ini tidak ada tuntutan apapun untuk mengisi halaman blog. Saya mesti bersyukur masih diberi hasrat membaca. Walau gak setiap hari setidaknya masih punya gairah.

Biasanya ketika rasa malas menghampiri, yang justru sering sekali datang begitu sampai di kosan, saya iseng membaca blog orang lain. Sekedar memancing ide menulis.

Bicara soal Ramadan, tahun ini terasa lebih kering. Sekering nastar dan kastangel. Di awal penuh ketegangan, di tengah ramai dengan kesibukan, di akhir lelah oleh pekerjaan. Sia-sia saja bila harus meratapi. Di awal Syawal, saya memilih berharap semoga tahun depan masih bisa bertemu dengan Ramadan.

Tahun ini tidak ada acara mudik dan kumpul sekeluarga. Saya dibebani pekerjaan mesti meliput keluar kota di hari raya. Dua kakak saya memutuskan Lebaran di rumah masing-masing karena alasan tertentu. Namun dibalik beban kerjaan, saya bersyukur bisa mengalami Lebaran di Padang, Sumatera Barat.

Bagi saya itu pengalaman berharga. Berlebaran di kota orang. Di saat jutaan orang kumpul bersama keluarga dan bercengkerama, saya berada jauh ratusan kilometer dari rumah.

Padang kota yang unik. Selain menerapkan Peraturan Daerah Syariah, malam Takbiran di sana agak berbeda dengan kota-kota di Pulau Jawa. Di rumah saya, begitu selesai Solat Magrib, musola dan masjid langsung ramai dan riuh oleh suara takbir. Suara bedug dan botol kaca menerabas setiap gang-gang. Meski ramai dan gaduh tapi saya tidak merasa terganggu.

Di Padang, saya perlu waktu untuk mencari tahu gema takbir di sekitar hotel tempat menginap. Ada yang asing ketika toa masjid tak mengeluarkan suara takbir. Ada sepi yang mencekam.

Dari pengamatan saya, sepertinya tidak menjadi kebiasaan bagi masjid-masjid di Padang merayakan pembukaan bulan Syawal dengan gema takbir. Atau mungkin saya yang keliru.

Buat seorang yang introvert, saya tidak terlalu ambil pusing dengan rutinitas tahunan ketika memasuki Lebaran. Mudik, membeli baju baru; menyantap ketupat, opor ayam atau daging; mengucapkan maaf-maafan; bukan sesuatu yang mesti ada kala Idul Fitri datang. Kecuali tunjangan hari raya tentunya, hehehe….

Pada ceramah Solat Jumat terakhir di Ramadan kemarin, sang khotib mengkritisi kebiasaan yang dianggap sudah berlebihan ketika Lebaran datang. Ia menyoroti mudik. Prinsipnya sih khotib mengingatkan agar jamaah tidak berlebihan. Ia mengatakan Nabi Muhammad tidak pulang kampung usai Ramadan tuntas. Lantas buat apa kita ramai-ramai mudik alis pulang kampung.

Saya menilai di balik alasan silaturahim, budaya mudik sudah enggak relevan buat dijalani lagi. Masih ada waktu atau momen lain bila silaturahim atau kumpul keluarga dijadikan alasan utama buat mudik. Tapi yah itu sih terserah. Tidak ada paksaan dalam mudik Lebaran.

Di luar soal mudik, ada tradisi yang mesti dijaga terus menerus, yaitu saling memaafkan. Jadi, mohon maaf lahir batin. Semoga Allah ridho mempertemukan kita dengan Ramadan berikutnya.

Pikiran

Tantangan terberat bukan apa yang ada di depan kita, tapi yang ada dalam pikiran (Aristoteles)
Ada yang beranggapan pikiran mempunyai kekuatan yang lebih besar dari pada tindakan. Ungkapan itu bukan berarti sikap atau tingkah laku kalah bermakna dibanding akal. Dalam keadaan normal biasanya orang akan memilih berpikir dulu sebelum bertindak. Dari akal lahirlah pergerakan.

Saya membayangkan kekuatan pikiran ada pada sosok Professor Xavier dalam film X-Men. Meski tak punya kekuatan sehebat Wolverin yang bisa memulihkan diri dari berbagai luka fisik atau sekuat Magneto yang sanggup mengangkat jembatan, tapi Prof Xavier merupakan pemimpin bagi para mutan. Duduk di atas kursi roda, dia bisa menyatukan manusia mutan sekaligus membangun sekolah.

Itu baru satu kelebihannya, dalam hal ini adalah pikiran. Kelebihan utamanya ialah ia bisa mengetahui semua yang dirasa manusia di bumi lewat pikiran. Prof Xavier juga bisa mengendalikan lawan, situasi bahkan waktu dalam kondisi tertentu. Lebih jauh, ia bisa membaca masa depan.

Memang sih itu cuma film. Namun dalam kehidupan nyata kita pun mengerti kalau akal merupakan pembeda antara manusia dengan binatang. Akal yang disebut-sebut sebagai terminal pikiran manusia punya kedudukan lebih tinggi dibanding fungsi organ lainnya. Tanpa tangan, manusia masih bisa hidup normal. Tapi tanpa akal, kita menyebutnya gila.

think economist com

economist.com

Ungkapan Aristoteles di atas mengandung pesan yang jelas, buat saya sih khususnya. Kondisi psikologis, mental, kejernihan pikiran merupakan panglima dalam situasi tertentu. Filusuf Yunani itu seolah menyatakan kalau realitas yang kita hadapi bukan masalah besar bila kita bisa mengendalikan pikiran dengan baik.

Dalam banyak kasus bisa kita temui orang-orang yang salah bertindak biasanya sudah salah sejak dalam pikiran. Sehingga bukan solusi yang didapat malah justru masalah baru yang didapat. Tak sedikit pula masalah bisa selesai cukup dengan mengubah cara berpikir kita. Hal ini berbeda dengan konsep pasrah. Mengubah perspektif, cara pandang atau berpikir, ternyata bisa juga mengubah tantangan yang ada di depan mata.

Palmerah, 26 Mei 2016