Usia pernikahan kami sudah memasuki tujuh bulan. Masih pendek sekali bahkan tak layak rasanya memberi nasihat kepada mereka yang hendak menikah.
Dari sekian banyak peristiwa yang sudah saya dan istri lalui, ada satu hal yang seolah belum tuntas. Kami merasa ada utang yang tak terbayar. Di bulan ketujuh berumah tangga ternyata masih ada rekan yang melontarkan pertanyaan, “Kok, gak ngundang-ngundang sih nikahannya?”
Sejauh ini sih hanya istri yang mendapatkan pertanyaan itu. Biasanya, ketika ditanya istri akan cerita ke saya. Kami berdua, khususnya saya, hanya bisa tersenyum mendengar kembali pertanyaan serupa.
Kami memilih 16 Februari 2018 sebagai hari pernikahan. Pilihan itu datang dari kami sendiri. Orang tua dan anggota keluarga lainnya tak ikut terlibat dalam penentuan hari, tanggal, atau bulan.
Tempatnya di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kalau lokasi 100 persen keputusan dan keinginan istri. Sang Ayah, mertua saya yang asli Yogyakarta, juga tak terlibat dalam menentukan lokasi.
Begitu juga dengan konsep acara. Kami memutuskan tak ada resepsi. Istri secara khusus ingin mengundang anak yatim-piatu. Sisanya, diisi oleh keluarga dekat, teman kerja, dan sahabat. Total kami mengundang 130 tamu, sudah termasuk panitia acara yang merupakan teman-teman kami. Tentunya saat hari puncak jumlah tamu yang datang lebih dari 130 orang.
Soal biaya, rasanya tak elok kalau saya harus ceritakan. Dari penjelasan di atas rasanya tidak suli menghitung berapa biaya yang kami habiskan.
Sebelum masuk ke inti cerita, saya ingin berbagi info dari seorang analis Mirae Asset Sekuritas yang mengunjungi sebuah festival pernikahan di Kemayoran beberapa waktu lalu.
Dari hasil penelusurannya, ia mengatakan, rata-rata biaya yang perlu disiapkan untuk menggelar resepsi pernikahan di Jakarta berkisar Rp 35 juta hingga Rp 750 juta dengan jumlah tamu undangan sebanyak 350-1.000 orang. Bila ada rencana bulan madu, tentu biaya yang harus disiapkan bertambah lagi.
Angka menarik lainnya ialah pertumbuhan pernikahan di Jakarta. Pada 2016 angka pertumbuhan pernikahan naik 2,5 persen menjadi 57.368. Memasuki 2017 kenaikannya sebesar 2,9 persen menjadi 59.032. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, jumlah pernikahan di Jakarta setiap tahunnya mencapai rata-rata 1.664.
Secara sederhana saya hanya ingin mengatakan begitu gurihnya bisnis pernikahan, khususnya di Jakarta. Di akhir tulisan nanti saya akan lampirkan biaya setiap kebutuhan dalam resepsi pernikahan untuk standar di Jakarta.
Jadi, yang ingin saya sampaikan ialah kami bersyukur memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana pernikahan seharusnya berjalan. Kami pun bersyukur keinginan itu mendapat dukungan penuh dari orang tua. Bisa dibilang 65 persen pernikahan diurus oleh kami berdua saja. Sementara dari sisi biaya nyaris 90 persen datang dari kantong kami. Sisanya merupakan bantuan dan pemberian dari keluarga dan sahabat.
Meski demikian ada konsekuensi yang mesti kami tanggung juga. Yaitu saat kami tidak bisa mengundang rekan-rekan yang lain. Pertanyaan, “Kok gak undang-undang?” bergulir tak henti selama beberapa pekan setelah kami menikah. Bahkan, ya itu tadi, tujuh bulan usai akad nikah pun seorang teman masih mempertanyakannya. Saya sampaikan ke istri wajar bila ada yang bertanya karena biar bagaimana pun selalu ada keterbatasan.
Bagi saya pribadi resepsi itu pilihan. Menikah dengan cara sederhana itu hak. Ini bukan soal kebiasaan, tuntutan, apalagi gengsi-gengsian.
Setelah melewati fase itu, saya hanya ingin berbagi jangan sampai waktu kita habis karena lebih lama mempersiapkan resepsi dibandingkan dengan mempersiapkan ilmu memasuki rumah tangga. Jangan sampai juga gaji bahkan uang pensiun orang tua habis hanya untuk pesta sehari saja apalagi sampai berutang sana sini.
Padahal, resepsi hanya berlangsung tak lebih dari tiga jam bila di gedung dan delapan jam bila di rumah. Sisanya, ya itu tadi, seumur hidup kita harus membangun rumah tangga. Kehidupan dalam berumah tangga itu jauh lebih pelik dari pada menentukan souvenir mana yang menarik buat dibawa pulang tamu. Jadi penting sekali untuk tahu betul bekal apa yang mesti disiapkan ke depannya, bukan sibuk dengan persiapan nikah.
Tak perlu malu dengan sajian makanan yang sederhana. Tak perlu gusar dengan pilihan pakaian yang dikenakan. Karena sebelum datang ke pesta, tamu lebih peduli dengan pilihan pakaian yang akan dikenakan. Dan saat di tengah pesta pun orang lebih sibuk berfoto ria dan bercengkerama dibandingkan menilai pesta tuan rumah.
Percaya lah puluhan kali saya datang ke resepsi tak pernah saya temui orang komplain karena tidak mendapatkan makanan. Memang sih pernikahan itu momen terpenting dalam hidup kita, jadi ya wajar bila perlu dipersiapkan segala sesuatu. Ingat, kita sedang ibadah bukan menyediakan pesta untuk orang lain. Jangan sampai menikah menjadi tertunda hanya karena anggaran belum mencukupi. Jelas, menurut saya, itu tidak layak dilakukan.
Pada akhirnya keputusan ada pada masing-masing pasangan. Selama mampu dan sanggup silakan saja lakukan. Nah, sebagai gambaran berapa besar biaya pesta pernikahan di Jakarta, berikut ini saya lampirkan hasil penelusuran dari Mirae Asset Sekuritas.
Tempat US$ 583- US$ 1.896
Makanan per orang US$ 5,5 – US$ 12,8
Rias pengantin US$ 364-US$ 1.094
Baju pengantin US$ 547 – US$ 1.832
Kue pernikahan US$ 218 – US$ 576
Perencana pernikahan US$ 729 – US$ 4.376
Undangan US$ 145 – US$ 459
Mas kawin US$ 364- US$ 6.127
Dokumentasi US$ 1.094 – US$ 2.188
Dekorasi US$ 1.458 – US$ 7.294
Foto pra nikah US$ 583 – US$ 2.188
Bulan madu US$ 488 – US$ 1.604
Jakarta, 5 Agustus 2018