Dulu, waktu kali pertama bisa membaca, aku ingin menjadi pekerja kantoran. Mengenakan kameja lengan panjang dan celana satin hitam sungguh berwibawa. Aroma parfum bermerek jadi jejak yang ku tinggalkan.
Mimpi bekerja kantoran pudar begitu aku mencicipi sekolah menengah. Kala itu di layar televisi aku melihat sekelompok mahasiswa berteriak-teriak di hadapan sekompi aparat. Tak gentar nyali mereka berhadapan dengan tentara yang menggendong senjata api. Gagah rasanya menjadi seorang aktivis pejuang.
Ujian sekolah menengah atas, pekerjaan rumah, dan bisikan bapak mengikis cita-cita ku yang ingin menjadi seorang aktivis. Bapak bilang aku lebih cocok menjadi juru masak. Aku masih ingat sebelum bapak membuaiku dengan tingginya gaji seorang koki di hotel, selembar kertas hasil pencarian bakat menuliskan takdirku menjadi tukang kayu.
Rupanya Tuhan punya rencana lain. Jika boleh sekali lagi aku meminta. Cita-citaku satu saja. Mati dipelukanmu.
Palmerah, 31 Juli 2016.