Tersiksa

“Kau tahu apa alasan aku mendaki Everest,” tanya Beck Weathers kepada rekannya Doug Hansen. “Suatu hari ada awan depresi hitam yang mengikutiku ke rumah. Ketika mendaki, semua itu hilang,” kata Beck.

Kepada Doug, Beck yang seorang dokter menuturkan kegiatan mendaki gunung merupakan obat mujarab mengusir rasa penat bahkan depresi yang dialaminya. Alasan itu tidak ia utarakan ke rekannya yang lain, yaitu Jon Krakauer, seorang jurnalis yang mengikuti ekspedisi ke Gunung Everest pada Mei 1996. Namun ketika Beck mendaki Everest yang ia rasakan hanya satu. Penderitaan.

Mendaki gunung termasuk kategori olahraga ekstrem. Nyawa taruhannya. sumber: rmiguide

Mendaki gunung termasuk kategori olahraga ekstrem. Nyawa taruhannya.
sumber: rmiguide

Dalam film Everest yang baru saja di rilis di Indonesia, saya bisa merasakan apa yang dialami Beck. Bahkan pada beberapa kali kesempatan mendaki, saya mempunyai motif yang sama dengan Beck. Gunung jadi pelarian sekaligus penghibur di kala penat dan stres. Tapi saya ingatkan, rasa perih di pundak, pegal di kaki, ancaman hipotermia, dan letih yang menyiksa usai mendaki jelas bukanlah suatu kenikmatan. Setidaknya bagi orang-orang normal.

Lantas bukankah semua ketidakenakan itu seharusnya dihindari? Tapi mengapa justru akhir-akhir ini kegiatan mendaki makin marak digeluti? Tidak semua gunung memberikan dampak penderitaan yang sama. Di sisi lain, kadar penderitaan setiap orang juga kan berbeda. Tapi kok ya bukannya mikir soal sakit, tapi saya malah khawatir setelah orang menonton film Everest makin banyak orang berbondong-bondong mendaki.

Selama ini saya menganggap hanya orang goblok saja yang hobi naik gunung. Bagaimana tidak goblok, usai jalan-jalan bukannya senang ini malah uang ludes yang didapat. Kaki sakit, kurang tidur bahkan mungkin kematian. Jadi saya pikir cuma ada dua tipe orang yang memilih liburan naik gunung. Pertama orang goblok. Kedua orang yang tidak sadar kalau dia goblok. Saya sendiri tidak tahu termasuk jenis yang mana.

Salah satu adegan dalam film Everest. Scott Fischer, diperankan Jake Gyllenhaal, menyentuh puncak Everest. sumber: screenrnt

Salah satu adegan dalam film Everest. Scott Fischer, diperankan Jake Gyllenhaal, menyentuh puncak Everest.
sumber: screenrnt

Tapi mungkin kalau saya melihat sejumlah karakter di film Everest di mana sebenarnya diangkat dari kisah nyata. Sosok Scott Fischer yang diperankan Jake Gyllenhaal mirip-mirip sama saya. Bukan gantengnya sih tapi sok kuatnya itu loh. Kadang saya suka merenung, dan biasanya terlambat, buat apa memaksakan diri naik gunung. Sudah tahu bakal susah tapi masih maksa naik gunung. “Abis enak sih,” begitu biasanya saya mengklaim.

Dalam pendakian Everest perilaku Scott selaku pemimpin tim bisa dimaklumi jika memaksakan diri. Sudah tugas dia mesti menjaga dan memikul tanggung jawab terhadap keselamatan semua orang. Keberhasilan Scott bukan menuntun mereka ke puncak tapi membawa tim utuh.

Namun di akhir film kita bisa lihat ternyata yang selamat dalam pendakian Everest salah satunya ialah rekan Scott, Anatoli. Di tengah makin ramainya orang yang menjadi Everest dan ujungnya ialah persaingan antartim pendaki, Anatoli justru bersikap bijaksana. Ia bilang pendakian yang dilakukan bukan untuk kompetisi atau mencapai puncak pertama. “Siapa pun yang berlomba, gunung selalu pemenangnya,” begitu kata Anatoli.

Tapi pesan saya, jangan pernah sekali pun naik gunung buat cari gebetan apalagi jodoh. Mending cari jodoh di situasi yang normal saja. Sebab kalau sudah naik gunung terus gak dapat gebetan lebih sakit lagi akibatnya.

Palmerah, 19 September 2015

Merbabu

Lanjutan tulisan Merbabu

Sepertiga Keramaian

Sambil menahan udara dingin yang merayap memasuki tenda, dengan penuh keengganan saya keluar dari kantung tidur. Di luar situasi sudah ramai. Para pendaki, pelancong mungkin, sibuk memotret Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro yang dipakai sebagai latar belakang foto. Sambil menunggu tubuh beradaptasi dengan udara dingin di pagi hari, satu cangkir teh panas cukup membantu mengusir rasa haus yang mencekik tenggorokan saya.

Sepekan sebelum keberangkatan saya belum menyadari kalau perjalanan ke Merbabu bertepatan dengan hari ulang tahun Indonesia yang ke-70. Kali pertama saya meramaikan Agustusan di puncak gunung. Tak ada perasaan yang membuncah. Biasa saja, sama seperti pendakian dan hari-hari sebelumnya.

Lewat jalur Suwanting dari basecamp tiga kami harus melewati tiga puncak kecil jika ingin sampai ke puncak Merbabu. Usai mengambil gambar kami langsung berjalan menuju puncak. Kendati menanjak perjalanan kali ini terasa lebih ringan karena kami tidak membawa barang apapun, kecuali makanan-minuman dan kamera.

Jalur menuju puncak Merbabu

Jalur menuju puncak Merbabu

Sepanjang sisa perjalanan menuju puncak, para pendaki sibuk mengambil gambar. Warna langit yang biru bersih menambah anggun pemandangan dari atas punggung Merbabu. Lereng-lereng gunung di dominasi oleh rumput kering setinggi betis yang berwarna kuning. Udara dingin yang semula mengigit kulit berganti menjadi lebih hangat.

Belakangan saya tidak menyadari kalau sinar matahari ternyata sukses membakar wajah dan kulit di bagian lengan saya. Selama beberapa hari berikutnya saya terpaksa mengenakan pakaian lengan panjang untuk menutupi kulit yang terkelupas.

Saya cukup terkejut ketika akhirnya tiba di puncak Merbabu. Di areal seluas lapangan basket, para pendaki terlihat sibuk membuat pesan-pesan di atas secarik kertas. Beberapa diantaranya bahkan sudah menyiapkan kertas dengan tulisan berwarna-warni. Pelat yang bertuliskan ketinggian Merbabu jadi ornamen paling laku untuk di potret.

Para pendaki dengan tertib mengambil foto di atas Merbabu. Tampak Gunung Merapi di belakang.

Para pendaki dengan tertib mengambil foto di atas Merbabu. Tampak Gunung Merapi di belakang.

Puluhan, mungkin ratusan, pendaki mengantre dan bergantikan mengambil gambar sambil memegang pelat 3.142 m. Di sisi puncak lainnya, sayup-sayup terdengar pendaki yang melantunkan lagu Indonesia Raya sambil menghadapi bendera Merah-Putih. Beginilah potret keramaian di puncak gunung beberapa tahun belakangan ini. Persetan dengan film Indonesia yang mengambil tema naik gunung. Jangan pernah berharap kesunyian atau keterpencilan saat berdiri di puncak gunung pada akhir pekan. Apalagi di saat perayaan 17 Agustus.

Begini cara mereka merayakan HUT RI ke-70. Sebut saja kekinian.

Begini cara mereka merayakan HUT RI ke-70. Sebut saja kekinian.

Komersialisasi dan keramaian tidak hanya terjadi di pendakian atau gunung-gunung di Indonesia. Puncak tertinggi Mount Everest di Himalaya sana pun bernasib serupa. Saya pikir hasrat manusia yang gemar melakukan perjalanan makin meledak seiring makin banyaknya orang-orang narsis yang marak mengunggah foto perjalanan ke media sosial. Tak ada yang perlu disalahkan, kecuali setan-setan brengsek yang gemar membuang sampah di gunung.

Lelah. Saya merasa lelah yang sulit dijelaskan. Lelah karena tidak menemukan esensi dari perjalanan. “Ngapain sih naik gunung. Kan pada ke bakar nih kulit. Mending ke mall,” celetuk teman saya usai turun dari Merbabu. Mesti dilontarkan dengan bercanda tapi dalam hati saya setuju. Mungkin keramaian mall kini sudah berpindah ke atap-atap gunung. Dua hari setelah kami turun, kobaran api membakar punggung Merbabu. Sepotong gambar dari media sosial menunjukkan api menyala serupa semburan naga. Kebakaran itu rupanya diikuti oleh gunung lainnya. Saatnya rehat sejenak.

Palmerah, 6 September 2015