Pekerjaan Itu Seperti Seorang Kekasih

Kita bertanggung jawab penuh dengan pilihan yang dibuat

Katanya, musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri. Katanya, manusia juga suka menciptakan musuh. Baik yang ada di dalam dirinya maupun di luar dirinya. Tapi kita punya definisi masing-masing soal apa itu musuh. Ada kalanya nafsu menjadi musuh. Di lain hari, saudara atau teman yang giliran menjadi musuh kita. Bisa siapa dan apa saja.

Pertengahan bulan Mei, saya berada dalam satu posisi yang tidak nyaman. Rencana untuk naik gunung pertama kali ke Gunung Gede bertubrukan dengan agenda kantor. Harus memilih karena waktunya bersamaan. Jadi sebenarnya hidup kita tak pernah lepas dari pilihan. Ada yang bilang hidup hanya tentang pilihan.

Sebelumnya, saya harus berterima kasih kepada teman-teman yang mau mengerti dan menghormati pilihan saya. Pada awalnya ada rasa tidak enak. Tapi sekali lagi, kita harus membuat pilihan meski tidak memilih pun itu sudah berarti memilih. Akhirnya saya memilih agenda kantor. Kami pergi ke kawasan konservasi Gunung Kareumbi di Bandung.

Acaranya lumayan bagus. Bagus karena panitia seperti bermain petak umpet soal agenda kegiatan. Dari kantor kami berangkat ke Bandung naik truk tronton milik Kesatuan Angkatan Laut. Ini kali pertama saya naik tronton dari Jakarta ke Bandung. Alasan panitia memilih tronton ke lokasi cukup masuk akal.

Pertama selain murah meriah. Kedua dengan naik tronton, yang duduknya berhadap-hadapan, ternyata kami semua bisa berkomunikasi dan bergurau dengan sangat intens. Sesuatu yang sulit dan mahal didapatkan. Ketiga karena faktor jalan yang memang cocok untuk dilintasi truk. Jalan berliku dengan tikungan tajam ditambah berbatu pula bukan pilihan bijak bila kami naik bus.

Agenda kantor yang isinya outbond, tidur di tenda, belajar navigasi, bisa dibilang sebagai bentuk apresiasi untuk menyambut kedatangan karyawan baru. Kawasan Kareumbi yang menjadi latihan kelompok pecinta alam Wanadri ternyata memiliki hubungan dengan Tempo. Sang pendiri Wanadri ternyata juga pendiri Tempo. Yusril Djalinus. Seorang pecinta alam juga seorang wartawan. Hebatnya ialah dia pionir. Sesuatu yang langka.

Di balik itu semua, pada malam pertama kedatangan kami di Kareumbi seorang atasan kami berbagi seputar pengalamannya. Tak perlu saya ungkap semuanya. Pertama karena saya lupa. Kedua saya rasa itu gak terlalu penting buat anda.

Poin utamanya ada pada soal pekerjaan. Berbagi pengalaman adalah cara terbaik untuk memotivasi karena tidak ada aspek menggurui. Apalagi pengalaman yang dibagi tak beda jauh dengan yang kita alami atau masih terkait dengan pekerjaan.

Jadi, katanya, memilih pekerjaan itu seperti memilih pasangan. Hal pertama, bila ingin pekerjaan itu lekang, adalah jatuh cinta atau membangun cinta. Kadang saya suka heran melihat seseorang yang ajeg dengan satu pekerjaan seumur hidupnya. Ada banyak jawaban, bisa jadi memang cinta, tak ada pilihan atau terlanjur tak punya waktu dan kesempatan untuk berganti haluan ke pekerjaan lain.

Namun apapun yang kita bicarakan pada akhirnya semua soal keberanian. Keberanian untuk bertindak dan memilih. Setidaknya, itu yang saya dapat dari hasil kunjungan ke Kareumbi. Selain itu, ternyata saya rindu dengan alam. Masih ada yang lain tapi itu cukup disimpan di hati.

 

Melebarkan Zona Nyaman

Ada orang yang tampak tangguh di luar tapi sebenarnya begitu rapuh di dalam. Ada juga mereka yang terlihat rapuh dari luar tapi sebenarnya tangguh. Tapi sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar tangguh atau rapuh. Seperti bermain ayunan, kita semua bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain. Kadang di satu waktu rapuh, di lain waktu tangguh. Tapi ketika kita merasa sangat rapuh cobalah untuk bersikap tangguh. Tegar atau teguh. Kalau tidak bisa, setidaknya berpura-puralah tangguh.

Sudah lebih dari sebulan berganti ke posisi baru. Langkah pertama kerap tidak mudah. Tapi tanpa memulai, semuanya bakal lebih terasa sulit. Satu hal yang menjadi pegangan selama ini adalah jangan takut untuk berbuat kesalahan. Mereka yang sudah lama bergulat di tempat yang lama pun kerap berbuat salah.

Semua ini tidak hanya berlaku buat saya yang baru bergeser ke desk olahraga. Semua orang saya rasa mengalami hal itu. Ketakutan akan hal baru. Semacam ketidakpastian karena kita berada di luar rutinitas atau kebiasaan. Yang tersulit mungkin bukan berada pada wilayah atau pekerjaan baru tapi teman baru.

Berbagi minuman, makanan, menghirup asap rokok meski kita tidak merokok, tertawa, kecewa, marah, mengeluh, memaki atau berjalan beriringan dan masih banyak lagi lainnya. Terasa sulit melepas itu semua. Sebenarnya tidak dengan sungguh-sungguh saya menulis kata sulit. Sebab masih ada kesempatan untuk berkunjung sesekali. Bicara soal kebersamaan atau mengungkit kejadian yang sudah lewat berminggu-minggu, bulan bahkan tahun.

Kita hanya perlu waktu untuk beradaptasi. Mendapatkan momentum yang tepat dan semuanya akan kembali normal seperti sedia kala. Bagi mereka yang bisa melewati itu, kita menyebutnya dengan zona nyaman yang baru.