Menanti Zahra

Aku rindu aroma tubuhnya. Kerudung merahnya yang menyala, kulitnya yang selembut dan seputih salju telah melumpuhkanku. Sekali lagi aku rindu sekali aroma tubuhnya. Dari seluruh nilai kesempurnaan dirinya, aroma tubuhnyalah yang membekas dalam senyawa kimia otakku. Rasa-rasanya malam itu Tuhan sedang turun ke bumi dengan membawa sekuntum bunga dari surga. Malam itu, seluruh tubuh bus yang sudah reot dan berkarat memancarkan semerbak bunga setaman. Malam itu aku menyadari bahwa aku tidak bisa terlalu lama jauh dari dirinya.

Zahra namanya. Aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Entah setan apa yang merasukiku. Bibirnya yang tipis seketika melebar membalas salam perkenalan dariku. Malam itu, dia serupa air dan aku serupa sang ikan yang megap-megap terdampar diatas tanah. Zahra, jika engkau serupa bunga maka aku adalah tanah yang siap menopang hidupmu.

Seperti Padi pernah berucap:

Kulukiskan indah wajahmu di hamparan awan

biar tak jemu kupandangi selalu

kubiarkan semua cintamu membius jiwaku

yang memaksaku merindukan dirimu

Malam itu aku bahagia sekali. Tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Seperti melihat kehadiran salju di Gurun Sahara. Sebetulnya, perjumpaanku dengan Zahra tak berlangsung lama. Aku baru saja pulang dari panggilan wawancara di daerah MH Thamrin. Malam itu aku memutuskan naik metromini dan Zahra sang elok nan rupawan naik di daerah Grogol. Selang 15 menit kemudian Zahra turun. Aku menatap lewat kaca bus yang buram. Oh, daerah Jembatan Gantung. Zahra, aku rindu aroma tubuhnya.

Malam ini aku berharap dapat bertemu kembali dengan Zahra. Aku pun sengaja naik metromini dengan harapan dapat bertemu kembali dengan Zahra. Malam ini aku cukup letih. Seharian aku berkutat dengan psikotes. Lagi-lagi untuk sebuah pekerjaan. Aku rindu Zahra. Ya Tuhan, izinkan aku mencecap wangi aroma tubuhnya sekali lagi saja. Sejenak aku berpikir kalau aku sudah gila. Pria pengangguran seperti ini mengharap perempuan cantik dan terhormat.

Ya, aku memang sudah gila. Sekilas aku ingin seperti Aladdin yang menemukan lampu ajaib diseonggok metromini yang sudah reot dan karatan. Ku gosok lampu yang serupa botol air mineral. Lalu wus..wus…, muncul sesosok pria dengan kulit hitam, tinggi, dan besar yang akan mengabulkan apapun permintaanku. Tanpa pikir panjang aku akan minta,

Hai jin bawakan kepadaku Zahra. Aku hanya ingin mencium aroma tubuhnya untuk yang terakhir kalinya.”

Tapi sayang, aku tidak benar-benar menemukan lampu ajaib itu. Tuhan belum mengizinkan. Malam ini di dalam metromini yang tidak sewangi aroma tubuh Zahra ada tujuh penumpang. Aku duduk di kursi paling belakang dibagian tengah. Dari sini seluruh lekuk sudut metromini terlihat dengan jelas. Aku bisa leluasa mengawasi penumpang yang naik dan turun. Metromini melaju kencang, hingga daerah Jembatan Gantung tidak ada satupun penumpang yang naik. Malam ini aku tidak beruntung.

Beberapa saat setelah melewati daerah Jembatan Gantung, daerah dimana Zahra turun terakhir kali, ada seorang wanita tua berkerudung hijau tua naik. Dengan tas Sophie Martin, wanita tua itu mencoba menjaga kesimbangan akibat gunjangan metromini yang melaju kencang. Matanya menyapu seluruh sudut kursi. Dengan berpegangan pada sebatang besi dia datang menghampiriku.

Saya boleh duduk di sini? ”tanyanya.

Silahkan Bu,” jawabku. Sejenak aku berpikir usia wanita ini tak lebih dari 50 tahun. Tipikal seorang ibu rumah tangga yang hari-harinya disibukkan oleh pengajian sana-sini.

Astagfirullah….Subhanallah….Allahhu Akbar….jantungku berdegup kencang. Mataku menyalak. Keringat dingin membasahi punggung tubuhku, meresep hingga kemeja. Ku coba menenangkan diri. Ku gerak-gerakkan kaki untuk mengusir rasa tegang ini. Kehadiran wanita ini begitu sederhana. Pada saat yang bersamaan aku merasa berani dan takut. Tubuhku lemas tapi juga kuat. Aroma tubuh Zahra yang kucium dan kusimpan rapat-rapat selama dua minggu ini menyeruak. Aku merasa metromini reot ini baru saja bermandikan aroma tubuh Zahra. Tuhan mengizinkan aku mencium aroma tubuh Zahra malam ini.

Tapi tak mungkin. Mengapa aroma tubuh Zahra mengalir dari wanita ini? Apa aku terlalu letih akibat 300 soal psikotes? Ah, tak mungkin. Aku sudah puluhan kali bolak-balik menerima panggilan psikotes dan semua berlangsung biasa saja. Tak ada yang istimewa hingga membuat ku hilang kesadaran seperti mencium aroma tubuh Zahra. Tapi aku yakin, kalau wanita disebelah ku ini memancarkan aroma tubuh yang sewangi aroma tubuh Zahra. Mungkinkah Zahra gadis cantik dan wangi yang kutemui malam itu ternyata seorang wanita berusia 50 tahun? Tidak mungkin aku salah lihat.

Untuk membunuh rasa penasaran ku yang sudah meluap-luap, akhirnya ku beranikan diri bertanya. Kalau aku berani berkenalan dengan perempuan secantik dan sewangi Zahra maka aku pun harus lebih berani berkenalan dengan wanita berusia 50 tahun yang keibuan ini.

dari mana bu malam-malam begini?” tanyaku dengan agak ragu.

Oh ibu habis dari rumah sakit. Antreannya agak banyak tadi, jadi pulangnya kemalaman deh,” jawab wanita tua.

Kalau Mas Adit habis pulang dari panggilan tes ya? Kelihatan dari pakaiannya yang rapih.” Terang wanita tua.

Aku belum pernah mengalami bagaimana rasanya tersambar halilintar atau petir. Dulu ketika berusia sekitar 10 tahun aku pernah bertindak bodoh dengan memasukkan ujung pensil ke dalam stop kontak akuarium. Awalnya aku berpikir kalau kayu atau pencil tidak mungkin bisa menghantarkan aliran listrik. Tapi faktanya, aku merasakan getaran yang amat dahsyat diikuti dengan jeritan yang melengking. Beruntung aku masih bernafas hingga detik ini.

Saat wanita tua itu mengatakan ‘Mas Adit’ aku seperti tersambar petir di siang hari yang panas. Mataku melotot. Dengan refleks tubuhku bergerak menjauh dari wanita tua itu.

tenang Mas adit” ucap wanita itu.

ibu tahu kalau Mas adit sedang dirudung rindu. Mas Adit menanti Zahra kan? Mas Adit gak usah khawatir, karena sekarang Zahra sudah sehat. Begini lho mas, sekitar seminggu yang lalu Zahra jatuh sakit. Dia bilang sama ibu kalau dia kangen banget sama seorang lelaki. Dia bilang namanya Adit. Selama tujuh malam dia itu naik turun metromini dengan harapan bisa ketemu Mas Adit. Tapi, bukannya ketemu eh malah jatuh sakit.”

Zahra itu anak perempuan ibu satu-satu Mas Adit. Dia baru aja lulus dari akademi perawat. Malam saat ketemu dengan Mas Adit, dia itu habis wawancara di rumah sakit. Ibu juga gak tahu kenapa kok dia sampe segitunya mau ketemu Mas Adit. Ibu sendiri penasaran.

Nah, ketika Zahra sakit selama seminggu itu, ibu penasaran mau melihat seperti apa sih rupa Mas Adit. Zahra itu pinter banget mengingat ciri-ciri orang dan membaca wajah orang. Dia itu tahu kalau orang itu lagi sakit, senang, sedih, kecewa. Bermodal dari cerita Zahra itulah akhirnya ibu coba mencari Mas Adit. Selama tujuh hari ini ibu menggantikan peran Zahra.

Cara yang ibu lakukan sama seperti Zahra. Ibu naik turun metromini selama seminggu ini dengan harapan bisa ketemu Mas Adit. Dan akhirnya Gusti Allah ngasih izin ke ibu malam ini bisa ketemu sama Mas Adit. Kebetulan ciri-ciri Mas Adit mudah dikenali. Sipit, tas merah hitam, rambut pendek, dengan gigi depan yang pecah.”

Tanpa sadar bulir-bulir air mengalir dari ujung kelopak mataku. Ingin rasanya ku memeluk erat wanita itu dan menangis dibahunya.

Mas Adit gak usah sedih karena sekarang Zahra sudah sehat. Justru ibu sekarang yang kurang enak badan. Cuaca Jakarta akhir-akhir ini gak nentu. Siang panas, malam hujan. Buat perempuan tua kaya ibu gak tahan lama-lama diluar malam-malam begini.

Bu, saya boleh ketemu sama Zahra malam ini juga?” tanyaku

Wanita tua itu tampak ragu dan takut ketika hendak menjawab, “Aduh gimana ya?”

Begini Mas Adit. Ayah Zahra sudah meninggal beberapa tahun lalu. Bapak kena kanker prostat. Selama lima tahun bapak berjuang dengan penyakitnya itu. Kita semua sudah ikhlas kalau Gusti Allah mau menyembuhkan bapak kapan aja. Dalam tradisi keluarga saya Mas Adit kalau ada anggota keluarga yang sakit terus Gusti Allah memanggilnya atau meninggal, kita menyebutnya sudah sehat. Karena meninggal itu kan ‘sehat’. Sang arwah sudah tidak merasakan sakit yang berkepanjangan lagi.”

Mataku memerah. Buliran air mata mengalir deras. Tanpa sadar aku sudah berada dipelukan wanita tua itu. Rasa hangat mengalir. Aroma tubuh Zahra kembali menyeruak dari tubuh wanita tua yang kupeluk. Pikiranku menerawang tak menentu. Sekelebat wajah Zahra melintas, dengan bibirnya yang tipis dia tersenyum. Dalam hati ku berucap berjuta terimakasih kepada Tuhan karena Dia telah mengizinkan aku mencium aroma tubuh Zahra. Aku sangat rindu aroma tubuh zahra.

Gusti Allah pasti mengizinkan Mas Adit untuk mencium aroma tubuh Zahra suatu hari nanti. Itu doa ibu untuk Mas Adit.”

Tangerang, 4 Februari 2010

Tinggalkan komentar