Jangkrik Lewat

Sewaktu saya masih duduk di bangku kuliah, itu dulu waktu tampang masih lucu and gemesin, seorang dosen memberi pemahaman seputar dunia jurnalisme. Bahwa kalau seorang wartawan adalah sebuah profesi. Lantas muncul pertanyaan, apa itu profesi dan apa pula perbedaannya antara wartawan dengan jenis pekerjaan lainnya? Dengan sederhana dosen saya menjawab, perbedaan utama sebuah pekerjaan masuk kategori profesi atau bukan terletak pada kode etik yang dimiliki.

Contohnya paling nyata adalah dokter, perawat dan pengacara. Sejauh yang saya pahami, begitu mereka menyandang gelar akademik maka mereka akan diangkat sumpah. Hal serupa tidak terjadi ketika saya menyandang gelar sarjana komunikasi meski saya mengambil jurusan jurnalistik. Jadi saya mengambil simpulan kalau di Indonesia, kata profesi belum bisa dilekatkan kepada seorang wartawan. Profesi, yang mungkin berasal dari kata profesional, hanya berlaku kepada pribadi wartawan atau jurnalis itu sendiri.

Meski dewasa ini sudah ada organisasi yang mengayomi wartawan, bahkan sudah ada undang-undang sendiri soal media massa dan jurnalistik, seperti Aliansi Jurnalis Independen dll yang memiliki kode etik, tidak otomatis kode etik itu bisa diikuti dan menjadi legal standing wartawan untuk bisa disebut sebagai profesi. Kepanjangan nih kalimat. Tapi kenyataannya wartawan tak beda seperti karyawan.

Belakangan ini ramai sedang diobrolkan soal pertemuan Forum Pemimpin Redaksi di Bali. Puluhan pemimpin redaksi tumpah ruah dalam sebuah jamuan makan malam yang mewah. Entah apa yang dibicarakan tapi ujungnya justru banyak menimbulkan pertanyaan. Bermula dari bingkisan yang berisi kondom hingga desas-desus ihwal dana yang berhasil dikumpulkan. Kabarnya mencapai miliaran rupiah. Yah, beda memang kelasnya pemimpin redaksi.

Saya malas membahas soal itu. Tapi persoalan klasik di dunia jurnalisme atau pemberitaan tak pernah, bahkan mungkin mustahil surut, yaitu ihwal independensi. Terutama yang menyangkut materi. Karena manusia suka sekali dengan simbol maka persoalan independensi yang menyangkut materi dalam dunia wartawan diwakili dengan istilah wartawan amplop atau wartawan bodrex.

Tapi ada satu yang menarik ketika saya kali pertama terjun menjadi wartawan, yaitu istilah Jale. Sebutan Jale kali pertama saya dengar ketika pindah ke desk metropolitan. Usut punya usut, kata seorang teman, kata Jale merupakan kependekan dari Jangkrik Lewat. Adalah hal yang lumrah di lingkungan wartawan kriminal atau perkotaan terbiasa menggunakan kode atau istilah layaknya anggota kepolisian. Tujuannya agar orang awam tidak curi-curi pembicaraan. Kata Jale pun dirasa pas untuk mewakili sebuah pemberian atau ucapan terima kasih, biasanya berupa uang, dari seseorang karena telah diliput oleh awak media.

Diterima atau tidak pemberian, itu adalah pilihan. Nah, banyak persoalan yang muncul karena kata ‘pilihan’ ini. Kadang kerap lahir kecemburuan, gesekan konflik, macam-macam lah. Ujung-ujungnya kadang percek-cokan di antara teman sendiri. Tapi biasanya tidak berlangsung lama, ya semacam pedas-pedas cabe rawit lah. Udah tahu pedas tapi masih tetap digigit.

Persoalan materi bukan monopoli dunia wartawan. Hingga kini saya belum mendengar ada wartawan yang masuk penjara karena mencuri atau korupsi. Justru dari sektor pengadilan, yaitu hakim yang notabene bergelut soal keadilan sudah menjadi penyumbang sel-sel penjara. Agak melenceng emang nih tulisan.

Tapi intinya begini. Kadang sikap penolakan materi untuk menjaga independensi pemberitaan jadi cemoohan atau mengundang sikap sinis. Hari gini masih jaim-jaiman. Seperti kata saya tadi, kembali ke soal ‘pilihan’. Kan namanya juga pilihan. Tergantung iman. Kok jadi iman dibawa-bawa. Yah, namanya juga manusia. Mereka yang menolak kadang argumentasinya masuk di akal. Gaji kecil tapi beban kerja udah seperti dokter jaga 24 jam. Mereka yang menolak pun gak mau kalah. Biasanya sih lebih banyak memilih diam. Tapi ya apapun itu, kembali ke Anda.